ARTIKEL

Guyub-Rukun Perlu Modal

Guyub-Rukun Perlu Modal
Oleh Ahmad Tohari*

Untuk membangun kondisi guyub rukun dalam kehidupan bermasyarakat termasuk di bidang keagamaan diperlukan modal. Dan modal itu wajib dimiliki oleh individu maupun kelompok. Tanpa modal yang bersifat dasar itu kondisi guyub-rukun akan amt sulit dtegakkan. Apakah modal itu? Tak lain adalah kesadaran yang mendalam akan obyektifitas kenisbian manusia.
Karena diciptakan maka manusia bersifat nisbi atau relatif, dan yang berhak atas kemutlakan atau absolutitas hanyalah Tuhan Sang Pencipta. Sebagai yang nisbi hidup manusia berproses menuju (kembali ke) Sang Mutlak, sangkan-paraning dumadi.
Juga karena obyektifitas kenisbian yang melekat kepada setiap manusia maka tingkat atau pencapaian “kebenaran” yang bisa diraih tidak bisa dimutlakan, tak terkecuali kebenaran dalam keyakinan agamanya. Tunggu, ini krusial. Maksud saya begini: setiap pemeluk agama tentu benar-benar yakin akan kebenaran agamanya. Kepada diri, dan mereka yang seagama keyakinan itu pantas ditanamkan sedalam-dalamnya. Ya, buat apa memeluk suatu agama kalau orang tidak yakin akan kebenarannya.
Namun apakah kebenaran itu mencapai tingkat puncak atau mutlak? Pertanyaan ini muncul secara alamiah karena fakta dalam kehidupan, di semua agama terdapat kemajukan internal yang sudah muncul di sejak tahun-tahun awal kelahiran agama itu dan terus melebar hingga saat ini. Dalam agama Kristen ada Protestan, Katolik, Anglikan dan ratusan lainnya. Dalam agama Islam ada Suni, Syiah, dan ratusan lainnya. Demikian juga pada agama selain Kristen dan Islam. Apakah hal ini janggal? Tidak, malah kodrati dan sekaligus menunjukkan dan meniscayakan kenisbian manusia.
Orang yang beragama dalam kenisbian tetap meyakini kebenaran agama bahkan faham atau alirannya. Namun ketika bergaul dengan mereka yang berbeda agama, keyakinan itu hanya tersimpan di hati karena ia merasa harus memberi ruang kepada mereka untuk meyakini kebenaran agama mereka bagi mereka sendiri.
Bahkan dalam internal agama, orang NU misalnya tidak pantas merasa pemahamannya terhadap Islam lebih benar daripada orang Muhammadiyah, dan sebaliknya. Kepada masyarakat nonmuslim orang Islam tidak pada tempatnya mengatakan Inna diina ‘indallahil islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam). Yang pantas diungkapkan adalah lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Antarsesama muslim yang berbeda aliran, adabnya adalah bersikap bagimu amalmu dan bagiku amalku. Dan semua ini, baik sikap terhadap saudara non atau sesama muslim harus dibingkai dengan pigura emas yang bernama ikhlas dan hati yang tulus yang diharapkan muncul dari kesadaran kenisbian itu: Bahwa benar mutlak adalah wilayah ilahi dan bahwa setinggi-tingginya tingkat kebenaran yang bisa dicapai manusia hanyalah kebenaran manusiawi.
Dalam kesadaran sama-sama tidak bisa sampai kepada kemutlakan maka manusia dari berbagai latar agama, ras maupun kebudayaan merasa berada dalam satu wadah yang bernama kenisbian atau kerelatifan. Kesadaran ini diharapkan bisa menjadi benih keinginan untuk urip brayan, senasib sepenanggungan, guyub rukun dalam menghadapi masalah kehidupan yang membutuhkan sikap kebersamaan. Rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.


*Dewan Penasehat FKUB Banyumas

0 komentar: